Tuesday, January 1, 2008

AUDE SAPERE

Aude Sapere! Kata-kata yang mengubah dunia. Arti sebenarnya mungkin ‘berpikir mandiri’. Secara luas dapat diartikan sebagai kemauan untuk mendasarkan segala sesuatu kepada pemikiran masing-masing individu.

Ada 2 hal penting di sini. Pertama: kebebasan individu. Individu memiliki kebebasan dalam menjalankan hidupnya, tentu saja dengan kesiapan untuk menerima segala konsekuensinya. Kedua: Landasan kepada rasio. Dengan berlandaskan kepada rasio, individu memahami segala konsekuensi2 dari tindakan yg diperbuatnya.

Mungkin terdengar akan mengarah kepada chaos. Tetapi, dengan adanya keyakinan terhadap adanya hakekat kemanusiaan yang universal, maka tindakan2 dan pemikiran2 oleh individu2 yang berlainan tersebut, walaupun akan bervariasi, tetapi dapat ditarik benang merah yang sama, sehingga tidak menimbulkan chaos.

Aude Sapere ini menjadi kata kunci renaisance yang dimulai di perancis, dan kemudian merambah ke seluruh dunia. Prinsip ini mengubah pola pemikiran manusia terhadap alam dan terutama kepada lembaga keagamaan (di eropa). Dan pada akhirnya mengubah wajah dunia, dengan segala positif-negatifnya.

Dalam versi kelamnya, Satre menulis ‘manusia dikutuk untuk bebas’. Dikutuk atau tidak, manusia dilahirkan dengan memiliki kebebasan untuk memilih, dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi2 atas pilihannya tersebut. Dan sudah seharusnya bahwa pilihan2 tersebut didasarkan pada rasio masing-masing individu. Toh, Tuhan sudah menciptakan akal pada masing-masing manusia, dengan segala ke-bhineka-annya dan sekaligus ke-eka-annya. Surga-neraka, bukannya itu sebuah konsekuensi dari kebebasan manusia? Dan kita dilahirkan bukan sebagai malaikat, setan, tumbuhan atau binatang. Kita dilahirkan sebagai manusia.

Untuk beberapa orang, memperoleh tanggung jawab kebebasan memilih dengan akal merupakan hal yang menakutkan. Mereka mencampakkan akal mereka untuk berpikir dan mengambil akal orang lain untuk menghela dirinya. Mereka takut untuk menggunakan akal mereka. Mereka takut terhadap pemikiran-pemikiran bebas mereka sendiri. Atau, pada sebagian lainnya, mereka membiarkan orang lain untuk menentukan keputusan-keputusan dalam hidup mereka. Mereka tidak mau menentukan pilihan dalam menjalani hidup. Mungkin mereka takut untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari keputusan mereka.

Mempraktekan aude sapere memang seperti tersesat sendirian di dalam hutan tanpa peta dan hanya dengan berbekal kompas akal kita, yang bahkan kita sendiri tidak yakin kebenarannya. Tetapi, bahkan ketika kita akan mengikuti peta yang kita peroleh dari orang lain, atau mengikuti jejak orang yang lewat sebelumnya, akal kita harus terus diaktifkan untuk terus mengkritisi kebenaran peta atau jejak itu.

Toh kita hidup di bawah matahari yang sama. Menurut kebijakan cina kuno, dia yang bergerak menuju cahaya tidak memerlukan kerlip dupa. Yang diperlukan hanyalah ‘mata’ - yang dimiliki oleh semua orang - untuk melihat cahaya, dan kemauan untuk berjalan ke arah sana. Tercapai atau tidaknya sendiri tidak pernah menjadi hal penting. Karena perjalanan ini sendiri merupakan perjalanan yg tidak pernah berakhir, sejak jaman purba hingga nanti.

Hal ini berdasarkan keyakinan akan kemungkinan manusia untuk benar dan salah, siapapun itu. Sesuai dengan konsep manusia dalam hampir seluruh agama, manusia adalah sebuah potensi, dan mengabaikan potensi itu dengan mematikan akal atau dengan membuang hak untuk menentukan keputusan berdasarkan pilihan bebas, adalah mensia-siakan anugerah Tuhan dan mensia-siakan kemanusian itu sendiri.

(setelah membaca kembali Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder)

No comments: